Makalah Tentang Al-Qur'an



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah sebuah negara yang mempunyai masyarakat islam terbanyak diantara negara-negara lain di dunia, dari sekitar 178 juta penduduk hampir 90% adalah penduduk beragama islam tang taat karna itu perhatian pemerintah banyak dupayakan untuk membangun masyarakat mencari kesejahteraan rohaniah keagamaan disamping kesejahteraan lahiriah.
Diantara upaya-upaya itu adalah penyediaan kitab suci Al-Quran. Saya sebagai seorang yang beragama isalam membuat makalah ini untuk lebih mengenalkan Al-Quran dilingkungan siswa.

1.2. Perumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang diatas, maka kami dapat mengambil perumusan masalah sebagai berikut:
·         Apa itu Al-Quran?
·         Bagaimna cara diturunkanya Al-Quran?
·         Apa saja nama-nama Al-Quran?
·         Apa itu Tajwid?

1.3. Tujuan Penulisan
Setiap kita hendak melakukan sesuatu pekerjaan atau pun kegiatan hendaknya kita melakukan atau lebih dahulu apa yang kita yang ingin kita capai. Sehingga apa yang kita lakukan lebih terarah dan teratur untuk memperolaeh hasil sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan rumusan masalah diatas , tujuan penelitian penulisan in I adalah untuk membahasa tentang:
1.       Pengertian Al-Quran.
2.      Cara Al-Quran diturunkan.
3.      Kandungan Al-Quran dan lain sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Arti Kata Al-Quran Dan Apa yang Dimaksud Dengan Al-Quran
Menurut pendapat orang yang berpendapat paling kuat yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti Bacaanasal kata Al-Quran, quran itu berbentuk masdar dengan arti islam  maful yaitu maqru(dibaca)
Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”
dengan definisi kelam Allah yang diturunkan kepda nabi-nabi selain nabi Muhammad S.AW. tidak dinamakn teurot seperti yang diturunkan kepada nabi isa A.S demikian pula kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad S.A.W. yang dibacanya tidak di anggap sebagai ibadah seperti hadis qudsi, tidak pula dinamakan Al-Quran.
2.2.            Cara-cara Al-Quran Diturunkan
            Nabi Muhammad S.AW. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam, cara dan keadaan diantaranya:
1.       Malaikat memasukkan wahyu itu kedalam hatinya. Dalam hal ini, Nabi saw tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini, Nabi mengatakan: “ Ruhul qudus mewahyukan kedalam kalbuku”, (lihat surat  (42) Asy Syuura ayat (51).
2.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
3.      Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya  lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu dimusim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau  terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleg Zaid bin Tsabit:” Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa”.
4.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan nomor 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an  surat (53) An Najm ayat 13 dan 14 :    
وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَى – عِنْدَ سِدْرَةِ اْلمُنْتَهَى
Artinya:” Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika (ia berada) di Sidratulmuntaha.

2.3.            Hikmah Diturunkanya Al-Quran secara berangsur-angsur
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari, tentunya mengandung hikmah. Adapun hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur itu ialah :
A.    Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan melaksanakan suruhan dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dari riwayat ‘Aisyah ra.
B.     Diantara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan kemaslahatan. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus. (Ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
C.     Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
D.    Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menanyakan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surah Al-Furqaan: 32 :
“. . . . mengapakah Al-Qur'an tidak diturunkan kepadanya sekaligus . . . . ?” Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri :
“ . . . . Demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu . . . . “
Di antara ayat-ayat yang ada merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas ra. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al-Qur’an diturunkan sekaligus.
2.4.            Ayat Makkiyyah dan Ayat Madaniyya
Dilihat dari segi turunnya, maka ayat-ayat Al-Qur’an itu dikelompokkan menjadi dua,  yaitu:
1.      Ayat-ayat Makkiyyah, ialah ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah atau sebelum
Nabi Muhammad SAW. berhijrah ke Madinah.
2.      Ayat-ayat Madaniyyah, ialah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau
 Saturday, March 10, 2012
sesudah Nabi Muhammad SAW. hijrah ke Madinah.Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al-Qur’an seluruhnya yang terdiri dari 86 surat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah mencakup 11/30 isi Al-Qur’an yang terdiri atas 28 surat.

Adapun perbedaan antara suran makiyyah dan madaniah yaitu:
1.      Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar.
2.      Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca surat Al-Maa’idah.
3.      Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku. Baca surat Ath-Thuur.
4.      Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dengan kondisi obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.

2.5.            Nama-nama Al-Quran
Allah juga memberi beberapa nama lain selain dengan sebutan Al-Qur’an, diantaranya:
1.      Al-Kitab (ألكتاب) atau Kitabullah, adalah padanan dari kata Al-Qur’an, sepertitersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 2:
ذَالِكَ الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi  mereka  yang bertakwa”.
2.      Al-Furqan (ألفرقان), artinya Pembeda, ialah yang membedakan antara yang benar dan yang salah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Furqan ayat 1:

تَبَارَكَ الَّذِى نَزَّلَ اْلفُرْقَانَ عَلىَ عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا
Artinya: “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi  pemberi peringatan kepada seluruh alam”.

3.    Adz-Dzikru, artinya Peringatan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-Hijr ayat 
                إِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَاالذِّكْرَوَإِنَّالَه لَحَافِظُوْنَ                               
    Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya  Kami benar-benar memeliharanya”.

2.6.            Surat-surat Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat. Ketentuan mengenai nama dan batas tiap-tiap surat serta susunan ayat-ayatnya sudah ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. (secara taufiqi). Bila ditinjau dari dari panjang dan pendeknya surat, surat-surat Al-Qur’an dikelompokkan
menjadi beberapa bagian:
1.      Assabi’uththiwal (ألسّابع الطّوال), maksudnya 7 surat yang panjang, yaitu:
Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-A’raf, Al-An’am, Al-Maidah dan Yunus.
2.      Al-Miun (ألمئون), maksudnya surat-surat yang berisi 100 ayat lebih, seperti Hud,Yusuf, Mu’min, dan seterusnya.
3.      Al-Matsani (ألمثان), maksudnya surat-surat yang berisi kurang sedikit dari 100 ayat, misalnya surat Al-Anfal, Al-Hijr, dan sebagainya.
4.      Al-Mufashshal (ألمفصّل), maksudnya kelompok surat-surat pendek, seperti  Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, dan sebagainya.

2.7.            Hurup-hurup hijaiyah yang ada pada permulaan surat
            Di dalam Al Qur'an ada 29 surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah yaitu pada surat-surat:
(1) Al Baqarah, (2) Ali Imran, (3) AL A'raf, (4) Yunus, (5) Yusuf, (7) Ar Ra'ad (8) Ibrahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam, (11) Thahaa, (12) Asy Syuraa, (13) An Naml, (14) Al Qashas, (15) Al 'Ankabut, (16) Ar Ruum, (17) Lukman, (18) As Sajdah, (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mu'min, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuura, (24) Az Zukhruf, (25) Ad Duukhan, (26) Al Jaatsiyah, (27) al Ahqaaf, (28) Qaaf, (29) Al Qalaam (Nuun).

Huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada permlaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan "Fawatihushshuwar" artinya pembukaan surat-surat.

2.8.            Pembagian Al-Qur’an
Sejak zaman sahabat sudah ada pengelompokkan Al-Qur’an menjadi: 1/2, 1/3, 1/5, dan sebagainya. Pembagian tersebut sekedar untuk hafalan dan amalan keseharian atau dalam sembahyang, namun tidak tercatat dalam lembar Al-Qur’an atau dipinggirnya.Salah satu cara pembagian Al-Qur’an yang digunakan dewasa ini (termasuk di Indonesia) adalah : 114 surat, dibagi menjadi 30 juz dan 554 ruku’. Surat-surat panjang berisi beberap ruku’ sedangkan surat-surat pendek berisi satu ruku’. Tiap satu ruku’ diberi tanda di sebelah pinggirnya dengan huruf : ع. Adapun pertengahan Al Qur’an terdapat pada surat
Al-Kahfi ayat 19 pada lafazh : 
وَلْيَتَلَطَّفْ

 2.9.            Tajwid
            Al-Qur'an adalah sebuah kalam yang diturunkan dalam bahasa Arab. Dengan demikian wajib mengikuti kaidah yang ada pada bahasa Arab, sehingga makna yang dimaksudkan al-Qur'an tidaklah berubah. Kaidah bahasa dalam hal ini adalah nahwu untuk urusan susunan katanya, dan tajwid untuk urusan cara membacanya. Sedangkan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah kaidah yang berkaitan dengan cara membacanya.
 
Dahulu, ketika al-Qur'an diturunkan, belum diperlukan ilmu semacam ini, karena orang Arab dengan tabiatnya telah terbiasa membaca dengan benar bahasa Arab yang mana merupakan bahasa komunikasi mereka sehari-hari. Namun ketika Islam telah berkembang, diperlukanlah aturan ini, karena banyaknya muslim yang selain Arab yang tidak lagi mempunyai tabiat bahasa seperti orang Arab. Orang-orang ini sering salah dalam mebaca al-Qur'an baik secara ’rob ataupun ahkam al-hurufnya. Sadar dengan keadaan ini, para ulama kemudian merumuskan kaidah yang mengatur tentang i’rob dan bagaimana membaca al-Qur'an dengan sebaik-baik bacaan. Karena itu muncullah dua ilmu, Tajwid dan Nahwu.


Ilmu Tajwid
Tajwid menurut bahasa adalah mashdar dari lafadz جوّد, يجوّد berarti memperbaiki atau membuat baik (Abdu al-Qayyum bin ‘Abd al-Ghafur al-Sind: 2001: 159). Isim dari kata tersebut adalah kataجودة yaitu lawan kata الرداءة (keburukan, kejelekan). Dalam Nihayah al-Qaul al-Mufid dijelaskan bahwa makna tajwid itu adalah puncak maksimal dalam penyempurnaan, serta sampainya batas akhir dalam berbuat baik (Hasaniy Syaikh Utsman: 1994).

Sementara menurut istilah ulama,ada beberapa variasi definisi yang dikemukakan para ulama. Menurut Abdu al-Qayyum dalam kitab Shafahatnya, ilmu tajwid adalah ilmu tentang tata cara membaca kata-kata dalam al-Qur'an al-Karim dari segi pengucapan huruf dari makhrajnya serta memberikan haknya huruf sesuai dengan huruf yang berhak. Sementara itu menurut Hasaniy Syaikh Utsman, ilmu tajwid adalah ilmu yang dengannya bisa diketahui cara-cara mengucapkan kata-kata dari al-Qur'an. Adapun tajwidnya huruf adalah mendatangi huruf dengan sebaik-baik lafadz sesuai dengan cara pengucapan huruf yang terbaik, yaiatu cara pengucapan Rasulullah SAW. Sedangkan menurut ulama Qurra`, seperti yang terekam dalam nazham syairJazariyyahadalah membaca al-Qur'an dengan memenuhi hak-hak (makhraj-makhraj) huruf dengan semestinya, dengan memperhatikan semua sifat al-huruf. Selain itu juga membaca secara seimbang bacaan yang mempunyai hukum sama.

Sejarah Ilmu Tajwid
Sebenarnya, ilmu tajwid ini sandaran pokoknya secara praktis adalah Rasulullah SAW sendiri. Pada awalnya, ilmu tajwid ini adalah hasil pembacaan Nabi SAW atas al-Qur'an yang ditashihkan kepada malaikat Jibril AS. Adapun Jibril mendapatkannya dari Allah Rabb al-‘Izzati. Kemudian Nabi SAW mengajarkannya kepada para sahabat seperti yang beliau dengar dari Jibril AS. Demikian pula para sahabat juga mengajarkan kepada para tabi’in, tabi’in kepada tabi’ al-tabi’in. Begitulah seterusnya pengajaran tajwid hingga masa sekarang dalam mata rantai yang dimulai dari Nabi SAW, dari Jibril dari Rabb al-‘Alamin al-ladzi ‘allama al-insana ma lam ya’lam.

Konon para sahabat membaca al-Qur'an dengan benar (haqqa tilawatih) dan membacanya dengan benar-benar tartil dengan bergantung pada tabi’at, watak, ke-Arab-an, lurusnya aksentuasi, kefasihan lisan, serta kuatnya hafalan. Secara tabi’at, mereka tidak salah dalam men-tartil-kan al-Qur'an setelah menerimanya dari Nabi SAW, seperti mereka tidak pernah salah dalam mengucapkan kalam Arab yang ditemui dari kaum mereka. Padahal pada waktu itu dan sesudah itu, ilmu tajwid belum dihimpun, begitu pula ilmu nahwu. Namun setelah tersebar kesalahan dan kesamaran pengucapan/lisan maka dibutuhkan ditetapkannya kaidah-kaidah ilmu tajwid seperti dibutuhkannya penetapan kaidah ilmu nahwu.

Tentang siapa yang memulainya dan kepada siapa secara ilmiah ilmu ini disandarkan, ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan Abu al-Aswad al-Du`ali (w. 99 H), atau Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H.), atau al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H). Yang pasti panduan utama dalam hal ini adalah Rasulullah SAW sendiri.

Tidak jelas diketahui siapa yang men-tadwin ilmu tajwid ini, walaupun sejak dulu telah ada ulama yang concern dalam ilmu ini, dan telah diketahui kitab dalam ilmu ini yaitu al-‘Ain, yang ditulis oleh al-Khalil. Adapun kitab Sibawaih adalah kitab yang paling dahulu dalam pembahasan ilmu tajwid ini.

Hubungan Ilmu Tajwid Dengan Ilmu Qiroat
Hubungan tajwid dengan ilmu qiroat tentu sangat kuat. Karena qiroat adalah variasi dari cara membaca kalimat-kalimat al-Qur'an. Sedangkan al-Qur'an sendiri diturunkan dengan tartil. Ini menurut versi kitab Shafahat. Tapi agaknya qiroat bisa dianalogikan dengan mazhab fiqh. Sedangkan tajwid adalah variasi cara beribadah dalam sebuah mazhab fiqh. Artinya, tajwid adalah sebuah aturan membaca al-Qur'an dalam sebuah madzhab qiroat yang tentu saja disesuaikan dengan mazhab qiroat masing-masing yang dianut. Lalu apa itu tartil?

Tartil secara bahasa diambil dari mashdar kata رتّل mengikuti bab taf’il. Dikatakan رتّل فلان كلامه yang berarti mengiringkan antara satu kalam dengan kalamnya yang lain secara perlahan, jadi tidak dengan tergesa-gesa. Adapun secara istilah, tartil adalah membaca al-Qur'an al-Karim dengan perlahan-lahan dan tenang, disertai dengan memikirkan makna-maknanya, serta dalam keadaan menjaga hukum-hukum tajwid dan waqafnya. Atau, singkatnya, tartil adalah cara membaca kitabullah sesuai dengan turunnya.

Tartil itu adalah lafadz yang mencakup tiga tingkatan tilawah (pembacaan) al-Qur'an. Ketiga tingkatan itu adalah tahqiq, hadr, dan tadwir. Sebagian ulama membagi tingkatan ini dengan tartil, tadwir, dan hadr. Sebagian lagi membagi menjadi empat yaitu tahqiq, tartil, tadwir, dan hadr. Akan tetapi menurut imam Ibnu al-Jazariy bahwa tingkatan membaca al-Qur'an itu terbagi menjadi tiga yaitu, tahqiq, hadr, dan tadwir, semuanya termasuk tartil. Akan tetapi dalam kitab Fathu Al-Mannan dibedakan antara tahqiq dengan tartil. Dalam kitab tersebut dijelaskan, bahwa tahqiq itu lebih spesifik daripada tartil. Jadi tahqiq itu sudah pasti tartil, sedangkan tartil itu belum tentu tahqiq. Jadi dalam hal ini dipisahkan antara tartil dengan ketiga tingkatan baca yang lain.

Tiga tingkatan yang telah disebutkan di atas mempunyai level/pengertian yang berbeda-beda. Pertama, tahqiq. Menurut Ibnu al-Jazariy tahqiq secara istilah memberikan hak-hak setiap huruf, seperti memenuhi panjangnya mad, memperjelas hamzah, menyempurnakan harakat, menjelaskan antara izhar dan tasydid, dan semisalnya. Tahqiq ini sangat cocok untuk melatih lisan, memperjelas lafaz-lafaz, dan mempetegak bacaan dengan tartil semaksimal mungkin. Jadi, untuk pemula untuk memperbaiki bacaan sebaiknya mengikuti tipe baca tahqiq ini. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan hadr adalah mempercepat bacaan serta memperingannya seukuran masih sahnya riwayat yang sesuai dengan qiroat yang diikuti, dengan mengutamakan washal serta tetap menegakkan i’rab, dan menjaga benarnya lafaz serta kuatnya huruf. Sedangkan yang dimaksud dengan tadwir adalah sedang antara ukuran hadr dan tahqiq.


























BAB III
PENUTUP

3.1.      KESIMPULAN
Al-Quran adalah salah satu kalam allah S.W.T yang diturunkan kepada nabi Muhammad S.A.W. dan arti “quran” berarti “bacaan” yaitu pedoman seluruh umat islam diseluuh penjuru dunia yang dipakai  sebagai petunjuk, pegangan dan lain sebagainya, didalam baik melakukan ibadah, budi pekerti dan lain-lain.

3.2.      SARAN
Kita sebagai umat islam harus selalu menjaga dan melestarikan kemurnian Al-Quran. Disamping dengan berkembangnya moderenisasi dan globalisasi yang mendunia, agar kita tidak melencengdari ajaran yang dibesarkan oleh rasulullulah S.A.W. dan tidak masuk kedalam lubang kemusyrikan.
           














DAFTAR PUSTAKA

Engkoswara.H.dkk.1996. Meyusun Karya Ilmiah  untuk “Angka Kridid Guru SD”. Jakarta: dinas P dan K Propinsi DATI Jabar.
Purwa Darwita, W.J.S 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:  Balai Pustaka
Prof.T.M.Hasbi Ashshiddiqi (alm)
Prof.H.Bustami A Gami
Prof.H.Muchtar Jaya.
Prof.H.M.toha Jaya Omar.(alm)
Dr.H.Asmukti Ali
Drs.Kamal Muchtar
H.Gazali Thalib (alm)
K.H.A. Musaddad
K.H.Ali Maksum (alm)
Drs. Busjairi Madjidi
Prof.R.H.A. Soenarjo S.H



Comments

Post a Comment

Masukan Komentar Anda

Popular posts from this blog

MAKALAH FIIL AMR

makalah Sistem Penerangan